Tuesday, January 18, 2022

Musim Dingin dan Desolasi

Meski kali ini bukan musim dingin pertama saya di Jepang, tapi baru tahun ini saya sangat merasa kedinginan hampir sepanjang hari. Awalnya saya pikir karena saya baru kembali dari mudik ke Indonesia, sehingga perubahan temperature yang drastis membuat saya merasa kedinginan. Temperature ruangan pun sudah diatur sama dengan temperature tropis tapi saya tetap merasa kedinginan. Kemudian saya pikir mungkin ini karena perubahan mendadak setelah mudik ke rumah bisa berkumpul dengan orang tua, adik dan 2 keponakan yang membuat hari-hari riuh ramai kemudian kembali harus berjuang sendiri di Jepang. Ditambah karantina lagi jadi belum bebas jalan-jalan keluar. Sudah satu minggu berlalu dan saya masih sering mengeluh kedinginan. Rasa-rasanya saya sudah mengumpulkan semua alasan masuk akal yang membuat saya kedinginan. Masalahnya kini bukan cuma kedinginan, tapi lama kelamaan merembet menjadi alasan lain. Karena takut kedinginan saya malas mandi, malas beranjak dari bawah selimut, malas bangun pagi, malas berdoa (meski sebenarnya bukan sejak kedinginan), malas makan, malas pake lotion padahal kulit kering karena dingin. 

Seminggu sudah berlangsung "alasan" kedinginan karena musim dingin. Dari masuk akal menjadi kurang masuk akal.  Saya mengingat kembali perasaan-perasaan yang muncul itu lalu tersadar akan suasana desolasi yang pernah saya alamai sebelumnya. Desolasi atau dalam bahasa kerennya desolation, adalah keadaan dimana diri ini menjauh dari Tuhan, lingkungan sekitar bahkan diri sendiri. Karena itu, munculah perasaan dingin dan kering, seperti di tengah padang pasir. Sementara itu, lawannya yaitu consolation adalah keadaan yang penuh gairah, excitement, lively, sehingga hati dan hidup dipenuhi sukacita dan kehangatan. 

Musim dingin yang tak punya salah apa-apa terpaksa saya kambing hitamkan. Lekas-lekas saya mandi air hangat dan minum teh manis hangat. Dingin memang makin terasa di musim dingin tapi ada banyak pilihan menjadi hangat, termasuk pilihan dari diri sendiri dan berkat dari Tuhan berupa consolation

Sunday, April 18, 2021

Tidak Ada L dalam Bahasa Jepang

Setelah sekian puluh bulan di Jepang akhirnya saya baru menyadari bahwa arti bahasa Jepang furi maketto adalah flea market bukan free market. Semula saya pikir furi maketto adalah pasar yang menjual barang secara cuma-cuma, ternyata furi maketto adalah pasar barang-barang bekas layak pakai/guna dan sama sekali tidak cuma-cuma. Flea market diserap bahasa Jepang menjadi furi maketto karena tidak ada padanan huruf L dalam bahasa Jepang.



Bahasa asing diserap oleh bahasa Jepang melalui pengucapannya. Karena hanya ada ra ri ru re ro, maka seluruh kata yang mengandung la li lu le lo otomatis menjadi ra ri ru re ro. Kebanyak orang Jepang sendiri susah membedakan L dan R. Saya menemukan beberapa kesalahan yang lucu seperti papan restoran yang menuliskan Runch, instead of Lunch. Atau Coca Cora, instead of Coca Cola.



Hal-hal demikian membuat saya tak jadi minder kalau pengucapan ataupun susunan bahasa Inggris saya belibet, karena orang Jepang sendiri juga tak sempurna. Sebagai sama-sama negara yang bukan menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa sehari-hari, kami saling mengerti. Meski ada banyak hal lain yang kami tidak saling mengerti.

Thursday, February 11, 2021

Syukur

Postingan ini adalah sebuah ungkapan rasa syukur saya atas hari-hari yang sudah dan akan saya lalui. Saya percaya bahwa ini semua atas kemurahan Tuhan. 



Keep believing. Keep the spirit up.

Wednesday, September 2, 2020

Di Balik Toilet Yang Transparan

Tokyo Toilet Project designed by Shigeru Ban

Masih ingat di benak saya ketika pertama kali tiba di bandara Haneda, Tokyo, Jepang, saya cepat-cepat mencari toilet lalu terkagum-kagum dengan kebersihan dan teknologi toilet di Jepang. Maka setiap pergi ke suatu tempat, saya sengaja menengok toiletnya dan sebagian besar memuaskan. Menjaga toilet bersih dan nyaman bagi siapapun penggunanya adalah tanggung jawab bersama. Pemahaman itulah yang ditanamakan orang Jepang sejak usia dini. Kebiasaan hidup, spirit, juga dibarengi dengan teknologi membuahkan stereotype toilet Jepang yang dikenal canggih, bersih dan nyaman. 

Beberapa tahun belakang ini, dengan banyaknya penduduk, lebih-lebih pendatang dan faktor baru yang timbul karenanya, juga modernisasi yang membuat orang melalaikan nilai-nilai, toilet pun terkena imbasnya. Meski tidak banyak, di beberapa tempat umum toilet menjadi sesuatu yang menakutkan: gelap, kotor, berbau. Jauh dari nyaman dan aman. Salah satunya toilet di taman publik yang dikenal gelap dan kurang tergaja kebersihannya.


The Tokyo Toilet Project adalah usaha membuat toilet yang nyaman bagi siapapun penggunanya. Salah satu karya Tokyo Toilet Project yang sedang hits saat ini adalah Transparan Toilet karya Shigeru Ban. Menghilangkan gambaran toilet di taman yang gelap dan kotor, Shigeru Ban mendesign toilet dimana penggunanya bisa merasa aman dan nyaman. Dengan dinding yang transparan, calon pengguna toilet bisa memastikan tidak orang yang bersembunyi di dalamnya. Selain itu juga membuat penggunanya memastikan toilet bersih setelah menggunakannya karena akan terlihat dari luar jika tidak bersih. Sementara itu, saat pintu dikunci, dinding toilet akan menjadi opaque/tidak transparan untuk menjaga privasi pengguna.


Inilah karya briliant memadukan teknik arsitektur, design, teknologi dan seni yang juga kaya filosofi dibaliknya. Kalau hidup cuma mampir p*p*s dan b*k*r maka lakukanlah dengan beradab.


Saturday, July 25, 2020

Normal Baru di Jepang: Kantong Plastik Berbayar

Ternyata bukan hanya menggunakan masker setiap musim, menjaga jarak fisik dan (lebih) rajin mencuci tangan yang menjadi kehidupan normal baru di Jepang. Sejak tanggal 1 Juli lalu, yang masih dalam masa pandemi Covid-19, Jepang menerapkan kantong plastik berbayar. Meski sebelum diberlakukannya kebijakan ini, beberapa toko dan supermarket sudah memulainya. Kini seluruh supermarket dan toko, mulai konbini hingga street vendor, dari penjual sayur sampai penjual pakaian, wajib menerapkan kebijakan kantong plastik berbayar. Sebelumnya Jepang dikenal murah hati memberikan kantong plastik bagi konsumennya. Seperti saat berbelanja di supermarket, tak segan mereka akan memberikan beberapa kantong plastik untuk memisahkan barang belanjaan "basah" dan "kering". Kini tak kan lagi dijumpai salaryman di pagi hari dengan kantong plastik kecil berisi teh dan onigiri. Inilah kehidupan normal baru di Jepang.


Jepang termasuk terlambat menerapkan kebijakan kantong plastik berbayar jika dibandingkan dengan negara lain, termasuk Indonesia. Upaya mengurangi limbah sampah plastik memang dimulai dari mengurangi penggunaannya. Meski di Jepang pembuangan sampah sudah dipisahkan menurut pengolahannya. Jepang sendiri tidak mampu mengolah semua sampah plastik se-negara. Beberapa "dibuang" dalam kontainer ke negara lain. Yang kemudian ujung-ujungnya dibuang ke laut. Masalah sampah plastik adalah masalah besar dunia bagi lingkungan hidup. 

Maka mulai dari tindakan sederhana membawa tas belanja (eco bag) sendiri saat berbelanja, kita bisa mengurangi masalah besar itu. Selain hemat dan ramah lingkungan, eco bag bisa dijumpai dengan berbagai design yang menarik dan kawaii ala Jepang. Kini kalau belanja, tinggal katakan ke kasirnya "fukuro wa iranai desu". 

About This Blog

There are what I do, see, feel, think, and dream. Enjoy it!

wishlist

Kerja di Jepang, Belanda/Paris/Italy; sepeda ontel yang keren; punya buku sendiri.
free counters

About Me

My photo
Jakarta, Indonesia
@nikenkd / process engineer / interested in process technology and nanotechnology / book addict / loves tea / likes shoots

  © Free Blogger Templates 'Photoblog II' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP