Sunday, June 9, 2019

Individu vs Persona

Orang-orang di Jepang dikenal sebagai orang yang baik dan suka menolong. Tidak hanya ditunjukkan lewat angka kriminalitas yang sangat rendah tapi juga dialami oleh beberapa orang asing saat berkunjung ke Jepang. Jangan heran ketika seorang pelayan toko sepatu memakaikan sepatu calon pembelinya atau seorang kasir membungkuk setelah memberikan struk pembayaran kepada pelanggannya. Dalam banyak aspek kehidupan di Jepang, respect menjadi dasar dalam bertindak dan berinteraksi dengan sesama manusia. Setiap tindakan keputusan sekecil apapun diharapkan tidak melukai/merugikan orang lain dan lingkungan. Ketika hendak menurunkan sandaran kursi bis/kereta, mereka akan meminta ijin/memberi tahu dan juga tidak seenaknya banyak menurunkan sandaran kursi sehingga membuat tidak nyaman orang yang duduk di belakangnya.

Dalam berinteraksi dengan manusia, kita memperlakukan orang lain dengan baik seperti kita memperlakukan kepada diri sendiri. Atau kita berharap orang lain akan memperlakukan kita dengan baik jika juga memperlakukan mereka dengan baik. Kita menyebut orang dalam dalam sebuah sekumpulan orang atau masyarakat sebagai individu. Di individu ini melekat identitas: nama, jenis kelamin, asal, pendidikan, kesukaan, latar belakang, dll. Dalam sosiologis, individu adalah lapisan dasar sistem sosial. Individu dengan kesamaan asal usul disebut keluarga. Individu dengan kesamaan kesukaan/hobby disebut komunitas. Kiranya demikian. Biasanya dalam berinteraksi, kita melihat latar belakang dari individu tersebut. identitas yang melekat pada individu tersebut sering mempengaruhi tindakan interaksi kita.

Berbeda dengan individu, Paus Fransiskus pada pesannya di Hari Komunikasi Sedunia pekan lalu, Kita diharapkan memperlakukan orang lain sebagai persona bukan individu. Persona dalam perspektif antropologi berarti pribadi, kepribadian. Persona adalah buah dari pengalaman hidup yang ditunjukan lewat sikap pribadinya. Persona tidak serta merta dilekatkan pada identitas melainkan tumbuh berkembang lewat corak hidupnya.

Demikianlah kita seharusnya memperlakukan orang lain sebagi persona bukan sebagai individu. Bukan saya berlaku baik karena orang itu adalah anak pejabat, orang itu orang kaya, dll, dsb. Melaikan karena orang itu adalah sama seperti kita yang juga ingin diperlakukan bukan karena identitas kita tapi karena kita sama-sama manusia yang berjuang menjadi lebih baik.

Sebagai perantau, saya menjadi "liyan", "orang lain" di Jepang, pesan Paus Fransiskus itu sangat relevan bagi kehidupan saya. Saya tidak mau orang memperlakukan saya sebagai individu dari mana saya berasal, melainkan sebagai persona yang juga berjuang/belajar menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya.


PS: Doakan saya kerasan di Jepang ya!

0 comments:

About This Blog

There are what I do, see, feel, think, and dream. Enjoy it!

wishlist

Kerja di Jepang, Belanda/Paris/Italy; sepeda ontel yang keren; punya buku sendiri.
free counters

About Me

My photo
Jakarta, Indonesia
@nikenkd / process engineer / interested in process technology and nanotechnology / book addict / loves tea / likes shoots

  © Free Blogger Templates 'Photoblog II' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP