Perjalanan Rasa Aruna
Novel Aruna dan Lidahnya dengan Cover Film |
Aruna, diperankan oleh Dian sastrowardoyo, ahli wabah yang bekerja di oraganisasi non-pemerintah, menemukan kehidupan lewat makanan. Ia melewati rasa pahit, asam, manisnya hidup bersama makanan. Tapi akhir-akhir ini, ada yang salah dengan lidahnya. Indera perasanya itu tak lagi mampu menikmati makanan dengan santai dan gembira. Maka saat ia mendapat tugas melakukan investigasi atas dugaan wabah flu burung di Surabaya, Pamekasan, Pontianak, dan Singkawang, Bono, sahabatnya menyarankan untuk sekalian berwisata kuliner bersama, mencicipi kuliner nusantara di keempat kota tersebut.
Bono, diperankan oleh Nicholas Saputra, chef di restoran ternama di Jakarta, sahabat Aruna yang setia mendengar perjalanan rasa Aruna dan sesekali membuatkan masakan untuknya. Sejak tahu bahwa sahabatnya tak seasyik dulu dalam menikmati makanan, maka ia bersedia menemani Aruna kulineran. Sementara Nadezhda, diperankan oleh Hannah Al-Rasyid, adalah seorang penulis spesialis perjalanan dan makanan, sahabat Aruna yang ditaksir Bono, berpikiran terbuka soal kehidupan, karena seperti makanan, hidup selalu punya banyak rasa dan memberi banyak kejutan rasa. Datang jauh-jauh dari Amsterdam untuk ikut berwisata kuliner dengan sahabat-sahabatnya. Farish, diperankan oleh Oka Antara, dokter hewan, mantan rekan sekantor Aruna yang sempat ia taksir bahkan sampai saat ini. Tak disangka Farish pun ikut ditugaskan untuk investigasi bersama Aruna. Seorang pragmatis dalam menjalani kehidupan, baginya hanya ada hitam dan putih, enak dan tidak enak dalam makanan. Dalam perjalanan keempatnya tak hanya menikmati kuliner lokal, melainkan juga bersinggungan dengan kehidupan persahabatan dan cinta mereka, sekaligus realita sosial, agama, sains, konsiprasi, dan korupsi menjadi bumbu-bumbunya.
Surabaya, Pamekasan, Pontianak dan Singkawang adalah kota-kota yang kaya akan kuliner lokalnya. Hal itu dipadu dengan teknik pengambilan gambar yang cemerlang dan dialog keseharian yang menarik menjadikan film ini begitu indah untuk dinikmati. Pengambilan gambar/scene dikerjakan dengan sangat detail dan rapi. Kita bisa dengan jelas mendengar suara "kres" dalam mulut Aruna saat mengunyah udah bakar buatan Bono atau suara sruput bibir Aruna saat memasukkan kuah rawon ke dalam mulutnya. Kita juga bisa melihat gerak mulut Aruna mengunyah daging kepiting dari bakmi kepiting pontianak ataupun kulit choi pan yang kenyal. Beragam ekspresi Aruna lewat lirikan mata dan gerakan tubuh diungkapkan secara langsung kepada penonton, sehingga kita pun ikut mengangguk dan tersenyum. Bukan cuma itu, gambar visual saat daging sop buntut yang dilepaskan dari tulangnya, koya dan bawang goreng yang ditaburkan di atas soto ayam lamongan atau kuah campur lorjuk yang dituangkan di atas taburan lorjuk disajikan dengan sangat detail lengkap dengan asap dari panas makanannya.
Kita tak hanya diajak menikmati sajian kuliner lokal, melainkan juga perjalanan persahabatan dan cinta mereka berempat. Tak ada konflik besar yang rumit, hanya konflik dengan diri mereka sendiri dan antar keempatnya. Justru lewat dialog antar keempatnya itulah yang berhasil menghadirkan berbagai rasa. Dalam perjalanan itu, makan bersama dan makananlah yang mempertemukan dan menyatukan mereka. Meski keempatnya punya latar belakang dan ketertarikan yang berbeda, bahkan prinsip serta cara pandang berbeda, mereka percaya bahwa makanan adalah sesuatu yang universal, bisa diterima oleh siapapun, dengan interpretasi apapun.
Maka film Aruna dan Lidahnya adalah sajian lengkap yang sungguh sangat enak untuk dinikmati, terlebih bersama orang tersayang. Dan biarlah indera perasa kita yang menemukan kejutan pada tiap sajiannya. Seperti kata Nadezhda, tidak semua makanan harus dibahas tetapi biarlah makanan itu yang memberi rasa pada lidah dan makna pada jiwa.
0 comments:
Post a Comment