Sinden Republik: Kembali pada Tujuan
Walang kekek menclok ning tembok
Mabur maneh meclok ning pari
Ojo ngenyek yo karo wong wedok
Yen ditinggal lungo setengah mati
Walang Kekek - Waljinah
Lagu Walang Kekek mengalun lembut dari penyanyi dan pencipta syairnya, Waljinah yang sudah berusia lanjut dan sering sakit-sakitan, di sebuah layar besar di tengah pertunjukkan Sinden Republik di Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, 29-30 Mei lalu. Syair sederhana yang menunjukan peran perempuan di kehidupan keseharian. Barangkali itulah yang ingin diangkat dalam produksi Indonesia Kita yang rutin ditampilkan di GBB, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Perempuan memang tak 'kan pernah selesai untuk diceritakan, terutama bagi Sujiwo Tedjo. Mengambil sosok sinden, penyanyi perempuan dalam pagelaran wayang Jawa, Sujiwo Tedjo ingin menyampaikan pesan dan kritiknya atas kehidupan sosial, politik, budaya dan sejarah Indonesia.
Sinden Republik mengisahkan obsesi Sinden Sepuh, Sujiwo Tedjo, yang ingin menemukan seorang sinden yang konon kabarnya memiliki rajah di punggungnya. Rajah di punggung sinden itu adalah cita-cita dan tujuan yang dituliskan pemimpin bangsa ini. Cita-cita dan tujuan itu harus dimaknai kembali agar relevan dengan kondisi sosial politik saat ini. 5 sinden kenamaan Indonesia dihadirkan, diantaranya Endah Laras, penyanyi keroncong dan langgam jawa asal Solo, Jawa Tengah. Ia mendalami sinden dari ayahnya yang seorang dalang. Adiknya, Sruti Respati, dan Soimah Pancawati, keduanya yang sudah sering tampil di layar televisi ini, ikut mewarnai kisah Sinden Republik. Keduanya dengan gaya kenes tampil menarik menyampaikan isi hati para sinden. Dimana penyanyi perempuan juga mempunyai peran dalam pembangunan bangsa dan pelestarian budaya bangsa. Sementara itu, tampil pula pesinden dalam balutan budaya Sunda, Tita Tilla yang selain jago nembang juga jago menari. Suara dengan cengkok sunda itu memperkaya pertunjukan yang nyaris Jawa banget. Dan pesinden terakhir adalah Megan Colleen O'Donoghue, seorang pesinden kelahiran Los Angles, California, yang sudah lama menekuni budaya Jawa dan menyinden dalam berbagai pertunjukan.
Pesinden dengan gaya menyanyinya masing-masing berbaur di tengah para komedian Miing Bagito, Butet Kertaredjasa, Cak Lontong, Akbar, Sanita dan Trio GAM. Guyonan dan sindiran akan situasi potilik saat ini memenuhi jalan cerita. Seputar tontonan televisi yang tak semuanya menarik untuk ditonton, langgam jawa dalam pembacaan Al-Quran, batu akik sebagai hadiah dari ibu pertiwi dan sebagainya. Seperti biasa segar dan kritis. Saat mencari sinden berajah itulah, perlahan-lahan banyak hal terkuak dan terbuka, menyangkut sejarah yang selama ini ditutup-tutupi. Perjalanan menelusuri sejarah para tokoh pendahulunya. Seniman-seniman yang hilang dalam huru-hara 1965, namun bangsa ini tidak mau mengakui dan meminta maaf.
Ketika akhirnya keturunan sinden berajah dipertemukan, kegembiraan akan perjumpaan tak dapat disembunyikan. Tapi tak cukup dengan berkumpulnya keturunan itu, sinden sepuh, Sujiwo Tedjo, malah mengajak semua baik pemain dan penonton untuk merenung, 'kumpul saja koq sudah seneng'. Barangkali benar kata Sujiwo Tedjo: dahulu bangsa ini dipersatukan atas persamaan nasib, tapi kini nasib sudah berbeda-beda, bangsa ini hanya bisa dipersatukan oleh tujuan. Begitulah lewat pertunjukan Sinden Republik ini kita diajak kembali pada tujuan berbangsa dan bernegara agar kumpul tak lagi sekedar berkumpul melainkan berbuat sesuatu untuk kehidupan. Dan baik perempuan maupun lelaki, baik seniman, pejabat, profesional, pelayan publik, mempunyai perannya bagi kemajuan bangsa ini.
2015
Butet Kertaredjasa |
sinden sepuh bersama para sinden |
2015
0 comments:
Post a Comment