Televisi
Selama 2 tahun kuliah di Taiwan (2008-2010) saya jarang menonton televisi. Saya tinggal di dormitory, semacam asrama mahasiswa, dan hanya terdapat beberapa televisi di ruang publik untuk digunakan bersama. Saya cuma niat menonton televisi kalau ada pertandingan bola piala eropa saat itu. Kebiasaan jarang menonton televisi itu akhirnya saya jalani sampai sekarang. Dan cuma pertandingan bola yang membuat saya betah duduk di depan televisi. Selain itu, menononton televisi cuma alasan untuk bisa duduk bersama keluarga atau teman se-kos.
Televisi dengan perangkat elektroniknya menangkap frekuensi dan memunculkan gambar bergerak lengkap dengan audionya. Beberapa frekuensi yang berbeda menghasilkan beberapa stasiun televisi. Ada 15 stasiun televisi nasional dan puluhan stasiun televisi lokal di Indonesia. Frekuensi merupakan sumber daya milik bersama. Namun, apa yang terjadi jika frekuensi itu dikuasai segelintir pemilik modal dengan berbagai kepentingan? Di Balik Frekuensi, sebuah film dokumenter karya Ucu Agustin menyadarkan kita ternyata ada kekuatan besar menguasai pertelevisian Indonesia untuk kepentingan orang/golongan tertentu.
Kebanyakan stasiun televisi di Indonesia hanya dimiliki oleh segelintir orang. Sebut saja, Chairul Tanjung memiliki 2 stasiun televisi nasional Trans Corp), Aburizal Bakri memiliki 2 stasiun televisi nasional (TV One dan ANTV), Harry Tanoe memiliki 3 stasiun televisi nasional (MNC Group) dan Surya Paloh memiliki Metro TV. Selain itu, mereka juga memiliki beberapa stasiun TV lokal dan media berita online. Dan para pemilik statiun televisi itu adalah politisi yang akan maju dalam Pemilu 2014. Maka untuk kepentingan menarik simpati masyarakat, siaran televisi bisa diatur.
Wartawan dan jurnalis hanya alat untuk mencari berita yang akhirnya hanya "atasan" yang berhak menentukan berita itu disiarkan kapan atau tidak disiarkan. Resiko dan kerja keras mereka kurang mendapatkan perhatian yang layak. Bahkan idealisme untuk menghadirkan fakta yang sesungguhnya harus dikubur dalam-dalam.
Di Balik Frekuensi juga berkisah tentang Hari Suwandi, seorang korban lumpur lapindo yang berjalan kaki dari Sidoarjo sampai Jakarta untuk menuntut keadilan. Bisa dilihat bagaimana dalam kisah yang sama, kedua stasiun televisi bisa mengambil angle yang berbeda. Stasiun televisi Metro TV gencar memberitakan kisah perjuangan Hari Suwandi yang berjalan kaki, sementara stasiun televisi TV One memberitakan Hari Suwandi hanya mencari sensasi dan bukan warga asli Sidoarjo. Persaingan politik terbawa dalam pemberitaan di media yang disaksikan seluruh warga Indonesia.
Televisi ternyata punya andil yang kuat dalam membentuk cara pandang masyarakat. Maka penguasaan stasiun televisi oleh pemilik modal, yang disebut konglomerasi media, bisa membahayakan dunia jurnalisme (televisi maupun media berita online). Seharusnya pemberitaan nasional adalah independen, dan masyarakat televisi disuguhi fakta yang sesungguhnya. Maka ditengah konglomerasi media ini, masyarakat pemirsa televisi harus bijak memilih dan memilah apa yang ditonton dan tidak mudah dipengaruhi oleh pemberitaan yang bersifat blunder.
Ah, untung saya tidak suka nonton televisi, apalagi stasiun televisi Indonesia yang ternyata hadir untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Maka tidak mengherankan jika di akhir film Di Balik Frekensi, Ucu Agustin menutup filmnya dengan slogan: don't watch, tell lie vision (baca: televisi).
2013
0 comments:
Post a Comment