bumi
Banjir bukan barang baru bagi sebuah kota, terlebih Jakarta. Kota terpadat se-Indonesia Raya ini menjadi langganan banjir saat musim penghujan. Selain ketinggian tanah yang lebih rendah dari laut, kurangnya daerah resapan air menjadi penyebabnya. Bagaimana tidak tiap sudut-sudut kota dibangun gedung bertingkat, perumahan dan pusat perbelanjaan. Banyaknya penduduk menghasilkan banyak sampah. Lebih lagi, kurangnya kesadaran warga akan kebersihan dan pengurangan sampah plastik.
Jadi bencana alam berkaitan erat dengan perilaku manusia. Jika kita bertindak bijaksana dengan membuang sampah pada tempatnya, menggunakan teknologi yang benar untuk pengolahan sampah sampai pengaturan tata ruang kota, kita bisa mengurangi terjadinya banjir maupun longsor. Modernisasi menghilangkan kearifan lokal. Manusia modern berlomba-lomba menjadi lebih dari segalanya. Mengutamakan kepraktisan dan ke-instan-an. Manusia lupa bahwa semua berasal dari bumi dan harus melalui banyak proses. Penghormatan dan rasa memiliki akan bumi pun berkurang. Eksploitasi sumber daya alam juga binatang makin menjadi-jadi. Manusia hanya mengejar keuntungan dan melupakan kelestarian dan keberlanjutan.
Peradaban tambah maju namun perilaku justru makin tidak bijaksana. Justru manusia-manusia kuno yang menghargai bumi dan hidup selaras dengan alam tak pernah merasa kekurangan dan terhindar dari bencana. Masyarakat Jawa misalnya, para leluhur mengajarkan penghormatan dan keselaran manusia dengan alam. Karena alam memberi kesuburan dan kemakmuran, tiap kali hendak menanam dan selesai memanen, selalu diadakan upacara pada bumi sebagai ungkapan syukur dan harapan. Hutan dan sungai dijaga kelestariannya. Keharmonisan dengan alam itulah yang membawa berkah bagi manusia. Falsafah Jawa ini mestinya tetap hidup di tengah hiruk pikuk modernitas kaum urban supaya keselarasan dengan bumi tetap terjaga.
Selamat Hari Bumi!
0 comments:
Post a Comment