Saturday, February 2, 2013

Kebahagiaan ala Epikuros dan Aristoteles

Alih-alih mencari udara segar, saya datang di kuliah umum filsafat yang diselenggarakan di Salihara sore tadi. Dan WOW, satu teater penuh pengunjung, yang kebanyakan mahasiswa filsafat. Adalah Franz Mgnis Suseno yang didaulat menjadi pembicara. Seorang Romo Jesuit dan Guru Besar Filsafat di STF Driyarkara. Topiknya, Eudemonisme: Epikuros dan Aristoteles. Saya tidak mengharapkan pencerahan dari diskusi ini tapi kalau memberi pengetahuan baru ya boleh lah.

Selama satu jam lebih, Romo Magnis berbicara tentang makalahnya. Eudemonisme dari bahasa Yunani: eudaimonia, berarti kebahagiaan. Dan WOW lagi, bahasa sederhananya, diskusi filsafat ini membahas kebahagiaan ala Aristoteles dan Epikuros. Koq ya pas banget, saya datang dengan mood yang kurang baik, tiba-tiba diceramahi tentang kebahagiaan, mencerahkan, meski sedikit rumit.

Pertanyaan inti para filsuf Yunani kuno adalah: Bagaimana sebaiknya seorang bijaksana menangani hidupnya? Jawaban yang mereka berikan adalah: Manusia hidup secara bijaksana apabila kehidupannya menghasilkan kebahagiaan seoptimal mungkin. Bagaimana orang bisa bahagia? Bagaimana mencapai kebahagiaan? Apa itu kebahagiaan? Begitulah pemikiran muncul dari pertanyaan-pertanyaan.

Epikuros menunjukkan jalan kebahagian melalui hidup sederhana dan menjauhi keresahanan atau ketakutan. Ajaran Epikuros disebut hedonisme, memaksimalkan kenikmatan dan meminimalkan rasa sakit. Orang yang bahagia memilih lingkungannya sendiri yang membuat bahagia, menjauhkan diri dari kekacauan ataupun keresahan. Hidupnya mencari kenikmatan.

Prinsip dasar etika Aristoteles adalah hidup dan bertindak sedemikan rupa hingga mencapai hidup yang bermutu dan berhasil. Hidup itu berhasil bila mencapai tujuan hidup dengan segala usaha. Aristoteles membantah nikmat adalah yang dicari dalam hidup (Epikuros). Nikmat dirasakan kalau suatu kecenderungan atau usaha itu berhasil atau suatu kebutuhan terpenuhi. Jadi bukan nikmat, melainkan usaha itulah tujuannya. Jadi sebuah proses yang kadang melelahkan, menyakitkan, mengecewakan harus dilalui dan dialami agar pada waktunya tujuan tercapai, nikmatnya menjadi tak ternilai.

Menurut Aristoteles, kebahagiaan dicapai melalui aktualisasi atau pengembangan potensi diri. Membuat nyata apa yang ada pada diri kita. Dua potensial besar pada manusia adalah akal budi dan sifat sosialnya. kesosialan manusia terlaksana dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Manusia yang bahagia adalah manusia yang mampu melibatkan diri dengan orang lain secara manuasiawi. Membuat orang lain bahagia, menolong, ikut merasakan keresahan, mengerahkan diri memajukan masyarakat.

Maka, saya harus berani mengalami sakit, resah, kecewa, rindu untuk sebuah kebahagiaan. Juga melibatkan diri dalam kehidupan sosial dan mengembangkan potensi diri untuk kehidupan yang bermutu. Jian, bahasa saya sudah filsafat banget kan?

Selamat berbahagia :)

0 comments:

About This Blog

There are what I do, see, feel, think, and dream. Enjoy it!

wishlist

Kerja di Jepang, Belanda/Paris/Italy; sepeda ontel yang keren; punya buku sendiri.
free counters

About Me

My photo
Jakarta, Indonesia
@nikenkd / process engineer / interested in process technology and nanotechnology / book addict / loves tea / likes shoots

  © Free Blogger Templates 'Photoblog II' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP