Jejak Mata Pyongyang: Sebuah Catatan Perjalanan
Judul Buku: Jejak Mata Pyongyang
Teks dan Foto: Seno Gumira Adidarma
Genre: Graphic Travelogue
Penerbit: PT. Mizan Pustaka
Tahun: 2015
ISBN: 978-979-17708-9-7
Pyongyang dikenal sebagai ibukota negara Republik Rakyat Demokratik
(RRD) Korea. Secara politis bagi bangsa Korea, tidak dibenarkan atau
dihindari menyebut 'Utara' dan 'Selatan', maka selanjutnya kita sebut
saja RRD Korea. Berbeda dengan negara komunis lain seperti Rusia,
Tiongkok, Vietnam, RRD Korea justru masih ortodoks dan tertutup dengan
dunia luar. Maka menariklah bagi Seno Gumira Ajidarma (SGA) ketika
mendadak ia menggantikan menjadi juri sebuah festival film di Pyongyang.
Bersama 2 orang lain dari Indonesia yang filmnya ikut dalam festival
Film Negara-Negara Non-Blok dan Berkembang Lainnya ke-8, SGA berangkat
menuju Pyongyang. 10 tahun berlalu, SGA berpikir perjalanannya ke negeri
komunis itu tidak boleh lewat begitu saja. Maka ia mengumpulkan semua
dokumentasi dan ingatan akan pengalamannya di sana selama 17 hari.
Jangan mengharap sisi politis dalam kisah perjalanan SGA di buku ini,
bukan pula mengenai film dari festival film yang dinilainya. Justru ia
mengambil posisi sebagai seorang wartawan yang mengamati dan
menggambarkan sebuah negeri komunis ortodoks masih 'hidup' di jaman ini.
Selain 1 tulisan pengantar dan 1 cerita pendek, ada 10 tulisan esai
disertai foto-foto bidikan kamera manual Nikon FM2.
SGA mengisahkan perjalanannya menuju Pyongyang dari mengurus visa hingga
menaiki pesawat 'gemuk' buatan Rusia tanpa pramugari di tulisan
pertamanya. Lalu menikmati makanan yang disajikan tanpa menu di restoran
tak bernama melainkan bernomor dan tinggal di lantai 42 sebuah hotel
yang sepi. Televisi disediakan di dalam kamar, meski isinya hanya
propaganda melalui film-film patriotik dan lagu-lagu mars.
Kisahnya makin seru saat SGA ditempel intel karena ia mulai gencar
memotret sekeliling. Ia sering disodori pertanyaan-pertanyaan penuh
selidik bahkan sering ditegur ketika sudah keterlaluan dalam memotret.
Sebuah pertanyaan tentang agama sempat dilontarkan sang intel. Ini
membuat SGA terperangah karena ia datang dari sebuah negeri
berketuhanan. Bangsa RRD Korea memang dikenal tak beragama, tapi dalam
pengertian SGA, Marxisme dan Leninisme berusaha dileburkan ke dalam
‘kearifan lokal’ melalui konsep Juche atau menentukan nasib sendiri dan
bagaimana manusia menjadi tuan atas dirinya sendiri (Hal 21). Fungsi
tuhan pun digantikan oleh sang pemimpin negara. Selain Pemimpin Besar,
Kim II-Sung juga mendapat julukan Pemimpin Abadi. Seperti inilah yang
didoktrinkan negara kepada rakyatnya.
Hitam Putih Pyongyang
Dalam foto-fotonya yang hitam putih, pembaca diajak membayangkan suasana
di ibukota negara komunis itu. Baik lelaki maupun perempuan busana
atasannya hampir selalu putih dan berlengan pendek. Sementara para
pejabat berbaju putih lengan panjang dan mengenakan jas. Seperti tidak
ada fashion di sana, atau terbatas sama sekali (Hal. 24). Warna busana
pun tak jauh dari hitam, putih dan abu-abu. Warna semarak baru muncul
ketika ada pagelaran tari kolosal. RRD Korea ingin menampilkan
keberadaan artistiknya yang tinggi dalam tari kolosalnya. Meski
demikian, kegiatan kesenian tetap diatur oleh negara. Anak-anak yang
memiki bakat seni diasah untuk mendukung citra negara. Betapa
berkuasanya negara ini terhadap kehidupan pribadi manusia.
Modernitas ala Komunis
Meski kapitalisme adalah musuh ideologi komunis, usaha untuk menjadi
'modern' bukan omong kosong bagi negara RRD Korea. Pemukian penduduk
bersolek dalam wajah modern. Bakat-bakat seni digembleng untuk
memamerkan pencapaian sebagai bangsa modern kepada dunia. Representasi
modern pun diperlihatkan dalam berbagai kesempatan seperti pengalaman
SGA di sebuah perpustakaan. Ia diminta menyebutkan sebuah buku dari
Indonesia dan buku itu akan keluar sendiri dalam satu menit. Bukan
menggunakan komputer untuk menunjukkan tempatnya disimpan, melainkan
dari pengeras suara ke balik dinding perpustakaan. Memang belum satu
menit buku dari Indonesia itu keluar, tapi yang dilihat SGA dari lubang
kecil adalah para petugas yang bergegas ke sana kemari setengah berlari,
mencari buku-buku yang judulnya disampaikan pengeras suara. Luar biasa!
Di lain kesempatan, SGA bersama petugas KBRI pernah menjumpai sebuah
kasino di lantai dasar hotel tempatnya menginap. Ada orang berjudi,
memasang taruhan dan segala macam. Seperti kemunafikan, dengan segala
ideologi antikapitalismenya, negara justru mengelola permainan kapitalis
seperti itu.
Di akhir perjalanan sebagai juri sebuah festival film, SGA masih sering
tertegun melihat hubungan antara rakyat dengan negara. Rakyat yang
terus-terusan dicekoki situasi revolusioner, bahwa mereka masih sedang
berjuang demi kemakmuran dalam tekanan musuh-musuh mereka yakni
imperialis Amerika Serikat dan segala anteknya. Dan betapa percayanya
rakyat kepada apapun yang disampaikan negara (Hal. 112).
Memposisikan diri sebagai wartawan yang berusaha mengungkap
ketertutupan, SGA tidak mau menilai negera ini. Di akhir tulisannya
bahkan ia mengaku tak punya kapasitas untuk itu. SGA menyadari semuanya
adalah pilihan yang diambil oleh negara RRD Korea.
Perjalanan selalu memberi kisahnya sendiri. Catatan perjalanan SGA ini
mampu memberi kesan yang berbeda bagi pembacanya. Bukan tentang tempat
yang harus dikunjungi ala buku traveling, tapi sebuah sisi lain
kehidupan. Dibalut dengan tulisan ringan bercerita dan disertai
foto-foto serta poster, Jejak Mata Pyongyang memberi sudut pandang lain dari sebuah negara komunis.
0 comments:
Post a Comment