Menjadi Indonesia
Daoed Joesoef, Ahmad Syafi’i Maarif, Mochtar Pabottingi, dan Franz Magnis Suseno adalah sekian tokoh intelektual yang mempunyai peran bagi ke-Indonesia-an bangsa. Salihara pada pentas baca dan musik hari minggu kemarin menghadirkan keempat tokoh tersebut membacakan memoir masa kanak-kanaknya menjadi Indonesia. Mereka bukan sastrawan tapi sumbangsihnya bagi Bahasa Indonesia dan lebih-lebih Indonesia begitu besar. Mereka banyak menulis pemikiran-pemikirannya di berbagai media. Selain itu, juga menulis memoir masa kanak-kanak. Karena bagi mereka, pengalaman masa kecil dan budaya membentuk mereka seperti sekarang.
Daoed Joesoef lahir di Medan, Sumatera Utara tahun 1926. Ia pernah menjabat sebagai Menteri pendidikan dan Kebudayaan Indonesia pada masa Orde Baru. Ia adalah orang pertama Indonesia yang belajar di Universitas Sorbonne, Perancis. Di sana ia meraih dua gelar doktor. Sampai kini, ia aktif menulis tentang pendidikan bangsa di media massa. Malam itu, ia membacakan cuplikan memoir masa kanak-kanaknya dari bukunya yang terbit tahun 2010, Emak. Ia tumbuh dari keluarga sederhana. Diceritakan dengan haru dari melukis, ia bisa membelikan emaknya anting emas. Ketika ditanya tentang Indonesia sekarang, ia sedih, apalagi saat membaca tulisan Boediono, wakil presiden, tentang pendidikan di Kompas beberapa hari lalu. Boediono menulis: “Saya bermimpi pendidikan Indonesia ... .” Kedudukannya sebagai wakil presiden bukan untuk bermimpi, ucapnya, melainkan bertindak.
Ahmad Syafi’i Maarif lahir di Sumpur Kudur, Sumatera Barat tahun 1935. Ia besar di keluarga tradisional yang religius dan tumbuh menjadi seorang pluralis. Malam itu, Ia tidak bisa hadir membacakan memoarnya, dan Iswadi Pratama membacakan cuplikan kisah kanak-kanaknya. Mochtar Pabotinggi yang dikenal sebagai peneliti bidang penembangan politik nasional di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), lahir di Bulukumba, Sulawesi Selatan tahun 1945. Ia membacakan petikan kisah dari buku memoarnya Burung-Burung Cakrawala: kisah gembira kanak-kanak di bulan puasa. Dengan profesinya sekarang, ia bekerja sebagai peneliti murni dan tidak menerima pesanan apapun dari partai politik.
Franz Magnis Suseno adalah rohaniwan Jesuit berdarah Jerman. Lahir di Polandia tahun 1936. Ia melepas kemewahan sebagai seorang bangsawan Jerman dan memutuskan menjadi rohaniwan yang berkaul: taat, selibat dan miskin. Pada malam pembacaan Romo Magnis tidak bisa hadir, kemudian Reza Rahadian membacakan petikan memoir masa kanak-kanak yang ia tulis. Tulisannya bercerita kehidupan keluarganya di masa perang nazi dan panggilannya menjadi seorang rohaniwan. Romo Magnis datang ke Indonesia, sebuah negeri yang jauh dari negeri asalnya, tahun 1961 untuk belajar filsafat. Setelah menetap dan mendalami Indonesia khususnya Jawa, di tahun 1977 ia memutuskan menjadi warganegara Indonesia. Orang tuanya cemas ketika tahu Romo Magnis memutuskan demikian. Tetapi akhirnya lega setelah tahu anaknya hidup di bangsa yang ramah dan alam yang indah dengan cita-cita yang layak. Hingga kini, Romo Magnis aktif menulis tentang filsafat, etika politik dan lantang menentang intoleransi.
Menjadi Indonesia bagi mereka adalah proses yang menakjubkan sekaligus membanggakan. Menyumbangkan pemikiran, ide, dan tindakan untuk kemajuan bangsa. Setia pada jalan yang dipilihnya. Tidak ikut arus. Mari, kita dengan profesi masing-masing, juga berproses menjadi Indonesia. Mencapai sebuah bangsa yang mandiri dan layak dihuni masyarakatnya yang beragam.
2013
2013
2 comments:
Judul "Menjadi Indonesia" sama dengan salah satu judul lagunya band Efek Rumah Kaca :D
hai Bayu jembel :)
biar 'menjadi Indonesia' dituliskan, dinyanyikan, dibicarakan dan akhirnya terwujud..
btw, ERK itu emang band yg anti-manstream, lagu2nya banyak bercerita ttg Indonesia yang 'lain'
Post a Comment