Komunitas Salihara, sebuah komunitas yang berdiri tahun 2008 di Jalan Salihara, Jakarta Selatan. Komunitas ini adalah kelanjutan dari Komunitas Utan Kayu, yang saat itu harus pindah karena tidak mempunyai cukup lahan. Maka di Jalan Salihara, Jakarta Selatan, sebuah kompleks seni dibangun. Di dalamnya terdapat serambi yang biasanya digunakan untuk berbagai diskusi, galeri seni, gedung pertunjukan dan atap terbuka untuk berbagai acara. Berbagai acara pameran, diskusi dan pertunjukan musik, tari, teater yang bermutu diselenggarakan di kompleks Komunitas Salihara. Begitulah cara Komunitas Salihara merawat kebebasan.
Perjumpaan saya dengan komunitas ini bisa dikata tidak sengaja. Kunjungan pertama saya dimulai ketika saya bersama Abang makan malam bersama di Kopi Oey, yang letaknya di dalam kompleks Komunitas Salihara. Saat itu bersamaan dengan diskusi buku Candik Ala 1965, dan saya melihat beberapa tokoh terkenal seperti Goenawan Mohamad. Tempat ini tidak biasa, begitu pikiran yang terlintas pertama kali. Maka, saya melakukan kunjungan-kunjungan berikutnya. Saya menghadiri diskusi yang diadakan. Diskusi buku, sejarah, budaya, dan seni. Dan sering sekali saya menonton pertunjukan di gedung teaternya. Saya belajar banyak hal dari komunitas ini.
Di usianya ke 5, Komunitas Salihara menambah gedung baru yang dinamai Anjung Salihara. Sebuah bagunan berlantai 5 yang terdiri dari studio tari, studio musik, tempat penginapan untuk penampil, ruang serbaguna dan atap terbuka. Saya beruntung bisa menghadiri peresmiaan malam itu. Dalam pidatonya, Goenawan Mohamad, bercerita saat ada seorang teman bertanya "Berapa biaya untuk membangun Anjung Salihara?", jawabnya, "2 atau 3", lalu temannya menanggapi, "Hobi yang mahal". Dengan tenang Goenawan Mohamad menegaskan ini bukan masalah hobi, melainkan ia (dan komunitas) ingin memberikan alternatif bagi sebuah kota, Jakarta. Sebuah tempat pertumbuhan untuk artistik dan intelektual. Ruang bersama yang tidak dikuasai uang dan politik. Dimana semua orang bisa menonton pertunjukan bermutu dengan harga terjangkau. Dimana para seniman mempunyai tempat berlatih dan tampil. Ini adalah sebuah proses pendidikan bagi kesenian. Di akhir pidatonya, ia berharap Anjung Salihara ini bisa dimanfaatkan oleh berbagai pihak untuk kehidupan yang lebih manusiawi di Jakarta.
 |
Goenawan Mohammed |
 |
Sitok Srengenge |
 |
Tiwi Shakuhaci dkk |
 |
Di Teater Atap |
Selain sambutan Goenawan Mohamad tadi, Sitok Srengenge, penyair, membacakan 2 puisinya. Juga ada Tiwi Shakuhaci dkk bermain musik yang menyenangkan. Ah, saya makin kerasan di sini.
0 comments:
Post a Comment