Pergi

Setiap kali diajak teman untuk jalan-jalan, sering kali saya menolak. Bukan hanya jalan-jalan tapi juga main, makan atau karoke. Sampai seorang teman menyebut saya tidak easy going. Saya lebih memilih ke toko buku sendiri atau memasak dan membaca di kos. Sesekali berkumpul bersama teman yang se-visi untuk merealisasikan proyek seputar menulis dan fotografi. Sesekali juga datang di acara diskusi-diskusi untuk menambah wawasan perkotaan, sastra, sejarah dan lainnya yang menarik juga kekinian. Agak menyimpang sebenarnya dari orang kebanyakan. Dan saya menikmati sebagai orang yang anti-mainstream.

Saya pernah menulis setiap orang berhak menyakini kebenarannya masing-masing. Dan bagi saya, bersenang-senang dengan jalan atau makan enak jika tidak menghasilkan sesuatu untuk apa dilakukan. Sesekali mungkin boleh, tapi kalau keterusan dan tidak bisa ditahan, saya hanya memenuhi kebutuhan daging dan bukan jiwa saya. Sementara itu, ketika saya bersenang-senang dengan teman-teman, separuh jiwa saya tidak menikmatinya karena ia berada jauh dengan saya.

Spaemann, seorang filosof dari Jerman, mengungkapkan dalam cinta, keselamatan dan kebahagiaan orang yang dicintai menjadi keprihatinan dan kepentingan yang pertama. Saya bahagia kalau dia bahagia. Maka bagaimana saya bisa jalan dan makan enak sementara dia yang saya cintai tidak menikmatinya bersama saya. Bukan kemana atau makan apa yang bikin enak/senang, melainkan besama siapa kita melakukannya. Rupanya nilai yang saya anut ini ada teorinya. Dan kini saya bisa menjelaskan mengapa saya memilih untuk menunggu saatnya tiba saya berbahagia bersama dia.

Tulisan singkat ini saya tutup dengan penggalan kalimat dari Ayu Utami dalam cerpennya Kepergian: "pergi itu bukan kemana tapi dari mana". Saya tidak ingin pergi karena saya tidak ingin meninggalkan atau melarikan diri dari situasi apapun. Saya menerima dan menikmati proses sampai saatnya saya harus pergi. Pergi bersama dia.

2013