Sang Penari dari Dukuh Paruk
Masih ingat dengan postingan saya tentang buku Ahmad Tohari Ronggeng Dukuh Paruk? Tanpa saya duga, Ifa Isfansyah sudah mengolah kisah ini sejak 2008 untuk diangkat menjadi layar lebar. Maka saya beruntung sekali sudah membaca buku ini terlebih dahulu. Sebuah tindakan yang beresiko di tengah minat pasar film Indonesia pada tema horor atau urban. Saya salut dan yakin bahwa Ifa Isfansyah tidak melulu mencari keuntungan melainkan ingin menghadirkan tontonan berkualitas dan menyampaikan nilai-nilai yang nyaris dilupakan masyarakat. Umumnya, pembaca kecewa setelah melihat film yang diangkat dari sebuah buku karena ketidaksesuaian tokoh, adegan atau cerita. Tetapi bagi saya, ketidaksesuaian ini justru memperkaya interpretasi dan imaji saya. Tidak mudah memang memviasuali novel dalam keterbatasan waktu dan keberagaman interprerasi. Dan penilaian sebagai pembaca dan penonton sebaiknya dibedakan.
Dalam Sang Penari, gambaran detail alam dan kehidupan pedesaan dimunculkan Ifa Isfansyah lewat frame-frame pemandangan pedesaan dan keriuhan anak-anak yang riang berebut singkong di ladang. Kisah cinta -sang penari ronggeng- Srintil dan Rasus menjadi inti cerita dalam Sang Penari. Ronggeng dihadirkan sebagi kesenian rakyat turun-menurun yang masih murni dari sensualitas. Kemelaratan dan kebodohan rakyat tergambar jelas dalam plot-plot cerita. Tahun 1960an menjadi setting yang menarik. Saat orang kota memperkenalkan ideologi sosialis dan meyakinkan rakyat Dukuh Paruk bahwa tanah yang mereka kerjakan seharusnya milik rakyat bukan tuan tanah. Situasi memanas yakni ketika orang-orang yang terlibat PKI ditangkapi pun dihadirkan oleh Ifa Isfansyah. Keberaniannya memunculkan adegan penembakan rakyat yang terlibat PKI lalu dibuang ke sungai yang dilakukan TNI adalah luar biasa. Padahal adegan ini tidak ada dalam buku Ahmad Tohari. Improvisasi ini mungkin diangkat sebagai protes pada pemerintah yang seringkali bertindak kasar kepada rakyat yang dianggap bersebrangan kepentingan.
Kehidupan Srintil menjadi ronggeng memang menarik untuk dicermati. Seperti bukak klambu yang menjadi concern cerita. Meski vulgar tapi tak seronok. Maka harus saya acungi jempol bagi para pemain dan tim pembuat film yang mampu menghadirkan sensualitas tanpa terlihat menjijikan. Di akhir cerita Sang Penari, lagi-lagi Ifa Isfansyah melakukan improvisasi yang baik, dengan inti akhir cerita yang sama tragisnya dengan bukunya. Akhirnya, lagi-lagi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari ini benar-benar memperkaya saya lewat interpretasi Ifa Isfansyah dalam Sang Penari dan tentunya khasanah perfilman Indonesia.
UPDATE : Sang Penari menjadi film terbaik dan Ifa Isfansyah menjadi sutradara terbaik FFI 2011. *emang sudah layak dan sepantasnya*
PS : Terimakasih untuk buku luar biasa ini Bang :)
2 comments:
Dik, penembakan (pokoknya yang berbau senjata) merupakan satu bentuk menakut-nakuti (menimbulkan -bahasa Latinnya- teror) yang dipakai untuk merebut tanah. Kasus Mesuji, Papua, Kalimantan dan mungkin juga di Jawa, sering menggunakan metode/taktik itu.
kenapa harus kekerasan ya? seperti hidup itu tak ada harganya saja..
Post a Comment