percakapan sopir angkot dan kernetnya
Sebagai pengendara motor, musuh jalanan utama adalah angkot (angkutan kota). Di Jakarta, angkot bisa berupa kopaja, metromini, mayasari, bajaj, dan angkutan umum di jalan lainnya, selain busway. Mungkin lain waktu saya bisa ceritakan mengapa motor dan angkot itu musuhan. Maka jika tidak benar-benar karena terpaksa, saya tidak akan naik angkot.
Karena sore ini saya ke Surabaya naik kereta api, maka satu-satunya cara ke gambir adalah naik angkot. (naik ojek/taksi diabaikan). Dan jadilah saya naik angkot. Saya tidak benci-benci amat dengan alat transpotasi ini. Penumpang hanya perlu membayar Rp 2000 untuk sekali jalan, jauh maupun dekat. Angkot dapat menaikkan dan menurunkan penumpang di mana saja, *di mana saja, sodara2* dan itulah yang kerap disukai calon penumpang tapi tidak oleh pengguna jalan lain. Sebagai penumpang, saya suka saat tiba-tiba angkot ini menerobos jalur busway tuk menghindari macet *asli keren* dan kadang manuver-manuver yang dilakukan sopir dan kernetnya menembus kerumunan mobil. Kalau tidak ngetem, saya rasa naik angkot lebih cepat dari pada naik taksi. Karena penumpang hanya menbayar Rp 2000 maka jangan salahkan kernet atau supir angkot yang sering semena-mena. Seperti sore ini, saat saya dan penumpang lain sudah pewe *posisi wenak* dari kejauhan sang sopir melakukan isyarat pada kernet angkot di depannya lalu tiba-tiba sopir ini berteriak meminta penumpang yang memenuhi angkotnya untuk pindah ke angkot di depannya. Percakapan sekadar dan sudah biasa itu menyulut tindakan tidak manusiawi pada penumpang. Apakah kemanusiaan diremehkan karena harga murah yang kita bayar itu? Hingga seenaknya saja memindahkan penumpang seperti memindahkan barang.
..di dalam kereta sembrani di mana dari jendela kulihat monas menyala seperti malam pertama kita di kota ini, 2011.
0 comments:
Post a Comment