Jakarta oh Jakarta

"Sapa suruh datang Jakarta
 Sapa suruh datang Jakarta
 Sendiri susah sendiri rasa ... "

Lirik lagu yang saya dengar sekembali saya mengantar Ayah, Ibu, dan adik saya ke Stasiun Gambir untuk kembali ke Surabaya. Mereka ikut mengantar saya pindahan ke kota [jahanam] metropolitan Jakarta. Mulai sekarang saya akan menghabiskan hari-hari saya di kota [jahanam] ini. mendengar lagu itu, seolah saya diingatkan betapa kerasnya hidup di Jakarta hingga beberapa orang kurang beruntung mengadu nasib di kota [jahanam] ini. Kalau boleh memilih dari lubuk hati saya yang paling dalam, hati saya hanya untuk Jogja.Mimpi untuk tinggal dan berkarya di kota [amit2 klo Jogja jadi negara!!!] harus ditunda beberapa saat. Mungkin memang belum waktunya, tapi saya yakin seyakin-yakinnya, suatu hari nanti saya akan tinggal di Jogja. [tetep ngotot :P]

Kembali ke Jakarta. Sudah beberapa kali saya datang ke kota ini sejak tahun 2007 dan boleh dikata saya kapok untuk kembali ke kota [jahanam] ini. Namun rejeki berkata lain, banyak orang bilang kalau Jakarta itu kota untuk mencari uang bukan untuk tempat tinggal masa tua. Mungkin sebenarnya itu yang terjadi, meski saya menganggapnya sebagai pembenaran. Entah bagaimana rupa langit biru, bulan purnama, bintang-bintang dari kota [jahanam] ini selama bulan-bulan ke depan. Dan saya akan menantinya :)

Saya semestinya berterima kasih kepada sahabat saya Ursula Fajarrenaningtyas yang sudah membukakan mata, telinga dan hati saya akan kerasnya Jakarta. Bandit-bandit terminal, angkot-angkot jahanam dan ga aturan blas, macet ga kelar-kelar, banjir, komunitas yang penuh sesak sampai gaya hidup kota metropolitan yang modis dan tidak ramah lingkungan alias perokok juga sisi-sisi gelap Jakarta. Kota ini memberi pelajaran yang keras bagi penghuninya tapi bukan berarti nurani juga ikut keras. Yak, semoga saya pun bisa bertahan di kota [jahanam] ini. Amin.