Supir Angkot

Selain hati wanita, yang paling susah dimengerti adalah supir angkot (angkutan kota) di Jakarta. Penumpang tidak pernah tahu bahwa sewaktu-waktu bisa dioper atau dipindahkan oleh supir angkot tanpa alasan yang jelas dari angkutan satu ke angkutan lain. Kadang kala si supir berhenti di tempat yang tidak seharusnya menjadi tujuan terakhir. Ia menghentikan angkutannya di tengah trayek lalu menurunkan penumpang seenaknya (lagi-lagi) tanpa alasan yang jelas.

Soal tarif angkutan, supir angkot bisa semena-mena menaikkan tarif. Minggu lalu masih Rp 2000, minggu depan bisa saja menjadi Rp 4000. Selain itu, jika penumpang tidak membayar dengan uang pas, si supir akan seenaknya memberikan uang kembalian.

Suatu ketika, saya pergi dari Cilandak menuju Pasar Minggu menggunakan mikrolet. Tidak membawa uang pas, saya memberikan Rp 10000 kepada si supir. Dan dengan seenaknya si supir memberi kembalian hanya Rp 5500. Dengan sedikit menggerutu dan bertanya-tanya "mengapa dan kenapa" saya melanjutkan jalan kaki menuju tempat tujuan. Pulangnya, saya naik mikrolet lagi menuju Cilandak. Lagi-lagi saya tak punya uang pas. Rp 5000 saya berikan kepada si supir dan terkejutnya saya mendapat ueng kembalian sebesar Rp 2000. Tetapi, cepat-cepat saya minta Rp 1000 saja.

Saya tak mau diperlakukan seenaknya, maka saya tak akan seenaknya juga membayar tarif angkutan umum. Di Jakarta, di mana banyak orang seenaknya menyebrang jalan, membuang sampah, melintasi trotoar dengan kendaraan bermotor, mengambil milik orang lain dan banyak lagi, hal baik yang kecil dan sederhana harus tetap ada. Masih ada pengendara motor yang tidak melintas di trotoar, supir angkutan umum yang menurunkan penumpang di tempatnya, pengamen yang sopan, tukang ojek yang menyediakan helm untuk pelanggannya, dan sebagainya. Masih ada orang-orang yang peduli akan perubahan yang baik. Bukan hanya urusan orang-orang atas melainkan kita yang menjadi bagian dari jalanan ibu kota.

2015