Indonesia antara kelisanan dan keberaksaraan
Salah satu esai yang dibacakan untuk mengenang A. Teeuw di Salihara kemarin menarik perhatian saya. Esai yang dibacakan Ayu Utami dan sedikit dibahas oleh Sapardi Djoko Damono ini menyindir kebiasaan bangsa ini dalam membaca. A. Teeuw, profesor berkebangsaan Belanda yang belajar mendalami kebahasaan dan kesusastraan Indonesia. Ia pernah belajar di Universitas Gajah Mada dan menjadi guru besar bidang bahasa dan sastra Indonesia.
Dalam esainya itu ia menggambarkan kemanusiaan yang ideal bagi orang eropa adalah saat hidup dalam kebudayaan buku, dimana hidup dikelilingi buku, membaca dan menulis adalah kegiatan rutin yang tak kunjung selesai. Kebudayaan mata dan huruf itulah keberaksaraan. Sementara di Indonesia, ia menggambarkan kegiatan semacam seminar dan lokakarya banyak diadakan. Tidak ada kesepian seperti hidup bersama buku, yang ada riuh keramaian peserta dan pembicara membacakan makalahnya, yang mungkin dibuat dua jam lalu, atau seminggu lalu bahkan makalah sama yang diulang-ulang. Itulah dunia kelisanan.
Seminar membuat kita terlena mendengarkan, sementara kita lupa sumbernya adalah buku. Kita lebih suka diberi tau dari pada mencari sendiri. Tak perlu menyalahkan siapa-siapa saat perpustakaan sekolah dan universitas kosong dan seadanya. Kalau minat baca kita tinggi saya pikir dunia tak akan pernah berhenti menyediakan buku-buku.
0 comments:
Post a Comment